Kamis, April 18, 2024

Kutukan Sumber Daya Alam untuk Seluma dan Tak Siapnya Penguasa Lokal

Pembuka

Bila kita mau membuka bacaan dari buku, tulisan di internet mengenai korban berjatuhan akibat dampak kekayaan sumber daya alam seperti perkebunan skala besar, pertambangan dan kehutanan di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu maka akan bertambah panjang daftarnya. Rentetan konflik ini dimulai dari masyarakat yang dikriminalisasi, kemiskinan, pembodohan sistem, jatuhnya korban jiwa hingga traumatik yang diwariskan. Daftar panjang korban dipastikan akan terus bertambah bila pemerintah lokal (kepala daerah/DPRD) tidak memiliki kapasitas yang mumpuni serta banyaknya agenda tersembunyi.

Tak ada yang membantah bila Kabupaten Seluma kaya akan sumber daya alam, kandungan pasir besi yang menyebar sepanjang pesisir, pertambangan batubara, serta emas. Untuk kandungan pasir besi di wilayah itu berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bila diuangkan mencapai Rp 19,9 triliun, (kompas.com, 23 September 2011).

Selanjutnya berbicara kandungan emas di Kabupaten Seluma, timbunan emas juga diprediksi melimpah. Potensi kandungan emas yang ada di wilayah pesisir barat Bengkulu tersebut diprediksi sangat besar. Hasil survei geologi yang dilakukan tim dari Inggris, di salah satu titik koordinat yang disurvei, terdapat gold-bering vein atau urat mineral yang mengandung emas murni di bawah tanah. Potensi kandungan emas di Seluma diduga melebihi satu juta Ounce. Namun, batuan emas tersebut terkubur di bawah hutan lindung, (sucofindo.co.id).

Untuk pertambangan emas ini luasan yang akan ditambang mencapai 12 ribu hektare namun izin masih terganjal di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena kawasan potensi emas itu berstatus hutan lindung, membentang di Ulu Talo, Ulu Alas dan Semidang Alas, (bengkuluekspress.rakyatbengkulu.com, 26 Februari 2019).

Memiliki kekayaan sumber daya alam ibarat berkah sekaligus kutukan. Kutukan Sumber Daya Alam merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan negara-negara kaya sumber daya alam untuk mengambil berkah dan manfaat dari berkah kekayaan yang mereka miliki. Sebaliknya, negara kaya sumber daya alam itu menjadi miskin dan lebih menderita dari negara yang kurang beruntung mendapatkan kelimpahan sumber daya alam. Sebut saja negara-negara di Afrika. Kongo, Angola, dan sudan yang diguncang perang saudara serta wabah korupsi akibat pertambangan. Sementara Negara Ghana dan Burkina Faso yang miskin sumber daya alam justru hidup damai, (Soros: 2007).

Di Kabupaten Seluma, kutukan sumber daya alam juga terjadi sejak 2010 misalnya penolakan masyarakat terhadap pertambangan pasir besi terjadi. Lubang-lubang tambang terlihat tersisa dibekas tambang yang ditinggalkan tanpa reklamasi menjadi kolam lalu memakan korban jiwa anak-anak yang berenang di Desa Rawa Indah, Penago Baru, Kecamatan Ilir Talo.

Aktifitas pertambangan juga menyebabkan konflik sosial akut antara masyarakat yang pro tambang karena direkrut menjadi pekerja (segelintir) dengan masyarakat yang menolak tambang (mayoritas) dengan alasan merusak ruang hidup desa seperti lingkungan, perusakan kawasan pesisir dan alasan-alasan lainnya.

Konflik sosial ini berlangsung parah, masyarakat yang awalnya hidup berdampingan dalam bingkai persaudaraan pecah, mereka tidak lagi saling sapa saling kunjungi, saat ada pihak yang pro terkena musibah maka pihak kontra tidak akan membantu, saat pesta hajatan maka pihak pro dan kontra tidak akan saling undang dan seterusnya, terjadi lama. Membutuhkan waktu belasan tahun untuk kembali normal akibat traumatik, ini bisa dilihat di Desa Pasar Talo, Kecamatan Ilir Talo,  setelah 11 tahun konflik itu berangsur membaik. Pertambangan merusak tatanan sosial kemasyarakatan.

Selain merusak lingkungan, merusak tatanan sosial, tambang juga merusak fokus masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Mereka yang seharusnya bertani, bersawah menjadi nelayan harus menghabiskan waktunya untuk melawan ancaman tambang. Begitu juga pemerintah desa menjadi terganggu, pemerintah desa yang harusnya fokus melayani masyarakat ikut pula menjadi tidak stabil. Dari sisi hukum, ada banyak korban kriminalisasi yang ditujukan pada masyarakat yang menolak pertambangan berakhir di penjara. Lalu kapan kekayaan alam itu dirasa oleh masyarakat, seperti mengharap rumput tumbuh di batu.

Kondisi Penguasa Lokal

Pada tulisan ini, penguasa tidak saja berlaku untuk kepala daerah namun meliputi legislatif (DPRD/DPR RI /DPD RI utusan Dapil). Kondisi penguasa lokal di Seluma seperti takut mengambil sikap secara bijaksana dan cepat. Penguasa lokal lebih menyukai berlindung dalam aturan dan tafsir hukum yang hitam putih. Misalnya, mereka berpendapat bila perizinan sudah terpenuhi maka kita setujui. Namun persoalan sosial dan lingkungan dibalik itu tak mereka jadikan pertimbangan. Mengelola negara tidak saja berpatokan pada teks-teks hukum, namun pertimbangan sosial, gejolak masyarakat, aspek sosiologis juga menjadi panduan paling penting.

Kepala daerah seperti enggan bertemu dengan rakyatnya yang berkonflik, anggota DPRD/DPD/DPR juga seperti setengah hati bersikap. Hal ini bisa jadi disebabkan banyak faktor, tidak memahami persoalan secara detil, gamang, memilih main aman, saya tidak menyebutkan mereka tidak peduli. Nasib penguasa lokal terkesan hampir sama dengan rakyat, seperti tak punya kuasa. Padahal, penguasa punya kuasa. Kemampuan mendengarkan, menganalisa, lalu memutuskan kebijakan yang adil seperti panggang jauh dari api.

Bahasan

Dari aspek ekonomi kekayaan yang berasal dari sumber daya alam kurang layak disebut pendapatan dam lebih tepat dikategorikan sebagai aset. Kekayaan dari sumberdaya alam tidak perlu diproduksi kekayaan itu hanya perlu diekstraksi (gali). Karena bukan dari hasil produksi hasil kekayaan alam bisa didapatkan tanpa banyak berkaitan dengan aktifitas ekonomi lainnya. Seperti contoh, proses ekonominya berlangsung tanpa terhubung dengan sektor industri lainnya dan tidak memerlukan partisipasi tenaga kerja kasar dalam negeri (lokal), (Humphreys, dkk: 2007: 4-5).

Kita seringkali terpana dengan angka-angka fantastis dari potensi pertambangan yang dihitung lembaga kredibel. Namun kita lupa menghitung kekayaan dari hasil bertani, nelayan serta aktifitas ekonomi masyarakat yang telah dilakukan turun temurun karena tidak ada lembaga kredibel yang mau menghitungnya, saya berasumsi bila aktifitas ekonomi yang telah ratusan tahun dijalani masyarakat itu dihitung detil oleh lembaga kredibel atau ahli kita juga akan mendapatkan angka yang jauh lebih fantastis dari potensi hasil pertambangan. Ini tantangan bagi peneliti ekonomi kerakyatan.

Sumberdaya alam bisa menjadi kutukan sekaligus berkah, kata ini menjadi panduan bagi elite lokal bagaimana mengelolanya dengan baik? Tidak semua potensi pertambangan harus dieksploitasi secara besar, namun tidak pula karena takut lalu potensi pertambangan menjadi tak dikelola. Saya menulis ini tidak sebagai kapasitas menolak ekonomi tambang namun tidak pula pro pada ekonomi tambang. Saya lebih mengedepankan aspek sosial, manusia, dan lingkungan hidup sebagai pagar kokoh.

Sebagai illustrasi lokasi potensi pertambangan pasir besi di Pesisir Seluma umumnya padat akan permukiman dan aktifitas masyarakat. Ketenangan masyarakat akan menjadi pecah bila dipaksakan hadirnya pertambangan.

Fenomena munculnya gerakan perlawanan tambang pasir besi oleh kaum perempuan di Desa Pasar Seluma, Penago Baru, Rawa Indah, dan sekitarnya di Kecamatan Seluma Selatan dan Ilir Talo, merupakan efek dan penanda bagi penguasa lokal. Belum lagi bila dilihat relasi pertambangan global dan penguasa lokal berkolaborasi seperti “kolonialisme” menjajah rakyat, (Kartika, 2014: 20).

Lalu apakah pertambangan emas misalnya di dalam hutan yang jauh dari permukiman penduduk aman dari konflik sosial, tidak juga. Intinya penataan manajemen, kesiapan pemerintah daerah yang harus disiapkan. Bila tak ada pilihan lain sebuah pertambangan harus diterima maka harus ada jaminan berdampak signifikan bagi masyarakat.

Saya menantang Pemda Seluma, kesiapan apa yang sudah dibuat apabila menteri KLHK menurunkan status hutan lindung untuk tambang emas di daerahnya? Apabila tambang beroperasi, skema apa yang dibuat untuk menekan kerusakan lingkungan, skema apa yang dibuat agar pendapatan menambang emas itu harus pula dinikmati oleh semua masyarakat Seluma secara nyata? Bagaimana kesiapan desa-desa di sekitar lokasi calon pertambangan? Kalau orang asing bisa menambang, kenapa desa yang merupakan lembaga pemerintah terendah tidak boleh menambang?

Simpulan

Sumber daya alam di Seluma yang melimpah bisa menjadi kutukan bisa juga menjadi berkah. Kutukan bila pengelolaan kekuasaan seperti saat ini, gamang, tak mendengar, memilih main aman berlindung dalam administrasi dan hukum. Berkah bila dibicarakan dari hati ke hati bersama rakyat, berdasarkan kehendak masyarakat lalu kelolanya dilakukan secara adil dan terbuka. Bila hal ideal ini sulit didapat maka lebih baik kita optimalkan saja perekonomian yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat saja. Pengembangan potensi sawah, perkebunan, nelayan dan wisata alam jauh lebih arif ketimbang pertambangan yang penguasa lokal tak mampu menjinakkannya.

Refrensi

Bengkulu Ekspress: Ribuan Hektar Tambang Emas Masuk Hutan Lindung. https://bengkuluekspress.rakyatbengkulu.com/ribuan-hektar-tambang-emas-masuk-hl/(diakses 10.50 WIB Sabtu 25 Desember 2021)

Firmansyah (2011) : Tambang Tutup Masyarakat Bayar Nazar. https://regional.kompas.com/read/2011/09/23/06514221/~Oase~Cakrawala?page=all (diakses 12.17 WIB Sabtu 25 Desember 2021)

Humphreys, dkk (2007). Escaping The Resource Curse, Berkelit Dari Kutukan Sumberdaya Alam. Columbia University Press, New York.

Kartika (2014). Perempuan Lokal Vs Tambang Pasir Besi Global. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.

Sucofindo. Dari Napal Putih ke Grasberg, Ini Daerah Penghasil Emas di Suwarnabhumi. https://www.sucofindo.co.id/id/read/2019/02/2978/dari-napal-putih-ke-grasberg-ini-dia-daerah-penghasil-emas-di-suwarnabhumi (diakses 10.40 WIB Sabtu 25 Desember 2021). ***

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...