
kupasbengkulu.com – Bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanium) dan bunga patma raksasa (Rafflesia Arnoldi) merupakan jenis tumbuhan dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 tahun 1999. Rafflesia juga merupakan spesies prioritas konservasi nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 57/ Menhut-II/2008, tentang Arahan Strategi Konservasi Spesies Nasional 2008-2018, serta Rafflesia juga ditetapkan sebagai Puspa Langka Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 4 tahun 1993 tentang satwa dan bunga nasional.
Konservasi tumbuhan langka di Indonesia belum banyak disentuh, karena selama ini perhatian terkonsentrasi pada satwa-satwa karismatik, padahal keanekaragaman hayati flora juga sama terancamnya sehingga perlu upaya pelestarian dan penyelamatan yang sama.
Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah, mengungkapkan Provinsi Bengkulu sebagai pusat sebaran terbesar Rafflesia dan Amorphophallus merasa memiliki tanggung jawab yang besar atas kelestarian kedua flora ini. Provinsi Bengkulu dijuluki “The Land of Giant Flowers” karena di sinilah keduanya dengan mudah dijumpai, bahkan beberapa tumbuh di pekarangan warga.
Hanya saja partisipasi pemerintah maupun masyarakat dalam pelestarian Rafflesia dan Amorphophallus belum begitu terlihat. Ini ditunjukkan dengan masih banyak terjadi pengrusakan flora langka, namun belum ditindak secara serius. Padahal dari aspek pariwisata, flora ini menjadi maskot daya tarik wisata untuk menggerakan ekonomi masyarakat.
“Hingga saat ini kita terkendala masalah regulasi, karena perihal pengrusakan kedua flora langka ini belum ada payung hukumnya,” ujar Gubernur usai pembukaan acara Internasional Symposium of Indonesian Giant Flowers Rafflesia and Amorphophallus 2015 bertema “Saving Giant Flowers to Protect Tropical Rainforest World Heritage” di Bengkulu, Selasa (15/09/2015).
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Enny Sudarmonowati, mengatakan di samping sebagai daya tarik wisata, kedua flora ini sesungguhnya memiliki “misteri” lain yang menunggu untuk disingkapkan. Berbagai penelitian yang sudah terlebih dahulu ditemukan peneliti asing, menyebut mikroba yang terkandung dalam Rafflesia maupun Amorphophallus berkhasiat sebagai obat anti infeksi, kanker, serta mengandung serat yang baik untuk pencernaan, setelah melalui berbagai proses terlebih dahulu.
“Selama ini pengrusakan yang terjadi pada flora langka dikarenakan masyarakat belum mengetahui manfaatnya bagi mereka. Inilah ‘misteri’ yang harus kita ungkap, kalau sebelumnya hanya tahu indahnya bunga serta bentuknya yang besar, kini mereka harus tahu manfaat bunga itu sehingga timbul kesadaran untuk menjaganya,” lanjut Enny.
Dia juga menyarankan agar ke depan pelestarian Rafflesia dan Amorphophallus dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan lingkungan hidup. Kemudian setelah pelaksanaan simposium ini dapat menjalin kerjasama internasional dalam hal pengembangan penelitian puspa langka.
“Kerjasama yang akan kita bangun dengan luar negeri terkait teknologi yang sudah mereka kembangkan untuk flora langka lain agar bisa dimodifikasi kembali pada Rafflesia maupun Amorphophallus. Kita punya keinginan teknologi ini dapat membuat replika habitat, sehingga ada upaya perbanyakan massal untuk mencegah kelangkaan. Selain itu ke depan flora langka ini dapat hidup di tempat-tempat yang lebih mudah dijangkau,” jelas Enny.
Tidak hanya itu, dia menambahkan ke depan harus ada upaya nyata dari pemerintah dan stakeholder terkait untuk merumuskan regulasi terkait perlindungan flora langka.
“Harus ada hukuman yang diberikan kepada lembaga pengawas yang telah diberikan wewenang untuk mengawasi flora langka, serta hukuman kepada pengrusak itu sendiri. Sehingga rusaknya flora langka ini tidak menjadi hal yang sepele,” pungkasnya. (val)