Kamis, Maret 28, 2024

Pemuda Muhammadiyah, Bermuktamar di Gelanggang Pilpres

Oleh Riki Susanto

“Slank itu berpolitik, tapi bukan politik praktis! Slank dan Slankers itu sudah kayak partai tapi tidak ikut Pemilu”. Bimbim Slank.

Sah-sah saja ketika anda tidak percaya ungkapan bijak dari personil band legendaris itu. Bimbim bukanlah politisi atau memiliki histori akademik tentang ilmu politik ataupun sosio-kultural. Bimbim hanya seorang penggebuk Drum yang berkerja di industri musik.  Namun Slank bukan hanya pelaku ekonomi.

Slank adalah musisi yang dalam referensi ilmiah setara dengan sastrawan, budayawan, seniman dan segmen humaniora lain, yang hanya dimiliki orang-orang yang punya kepekaan sosial tinggi. Kesetaraan inilah yang kemudian menjadi simpulan bahwa seorang musisi adalah orang-orang yang memiliki ideologi kuat, idealis dan peka terhadap kondisi sosial kemasyarakatan. Maka, tidak naïf ketika kalimat Bimbim menjadi kutipan pembuka dalam tulisan ini.

Pemuda Muhammadiyah (PM) dalam tataran praksis adalah Slank. PM bukan organisasi politik, bukan juga barisan relawan yang memiliki perpustakaan pujian. PM adalah wadah perjuangan kaum muda yang menyeru pada Amar Makruf Nahi Mungkar. Dimensi sederhana dari khitah itu adalah keberpihakan terhadap yang benar (Baik) dan melawan terhadap kebatilan (Jahat).

Prakteknya sangat sederhana ketika berhadapan pada yang keburukan maka katakan lawan sebaliknya ketika berhadapan dengan yang baik maka tuntutlah, ilhami, terapkan dan tebarkan. Namun, faktanya filosofi itu tidaklah mudah dalam tataran aktualisasi. Sebagaimana pesan Al Quran dalam surat Al Baqarah 126, “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

PM sejak awal berdiri memegang teguh prisip politik tingkat tinggi (High politic). PM berpolitik dalam dimensi spiritual bukan simbolik. PM menerapkan politik melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat, dan aksi yang bersifat mempengaruhi kebijakan pemerintah, melalui perjuangan moral (Moral force).

Semuanya dilakukan untuk mewujudkan perbaikan kehidupan umat dan bangsa. Namun, beberapa waktu lalu, sebagian kalangan berpendapat marwah itu minus menjelang Pilpres 2019. Sang ketua umum, Danhil Azhar Simanjuntak secara terang menjadi kubu dalam sebuah pertarungan Pemilu. Beliau menjadi juru ucap salah satu pasangan Capres. Lantas apakah itu distradisi? Tentulah tidak.  Danhil Simanjuntak sebagai simbol PM itu adalah sebuah fakta, karena beliau menjabat ketua umum. Namun, PM tidak pernah mengibarkan bendera pasangan Capres atau berkeputusan secara organisasi mendukung pasangan tertentu. Personal Danhil sunat untuk dikuti, namun seluruh putusan PM adalah ‘fardu ain’, Angkatan Muda Muhammadiyah tidak perlu didoktrin, khusus untuk sebuah paradok ini.

Narasi politik tentulah terus berdinamika. Sebuah paradok akan digoreng sedemikian rupa, hingga gosongpun akan tetap menjadi santapan para pencinta ‘minyak goreng’ oplosan. Alamat buruk pastilah tertuju pada Danhil Simanjuntak, karena tidak mundur dari jabatan ketua umum, ketika secara eksplisit berkubu dalam politik.

Penulis tidak ingin berlama-lama pada klausal ini, karena perkara ini soal formalitas belaka. Sebut saja Ma’ruf Amin yang tidak mundur sebagai Ketua MUI, ketika berstatus sebagai Cawapres, karena tidak diatur dalam konstitusi. Lain hal dengan Sandiaga Uno yang buru-buru mundur sebagai Wagub DKI, walaupun belum tergencet konstitusi.

Perkara ini akan berlanjut pada demokrasi subtansial dan demokrasi prosedural yang membosankan. Kaum terdidik tentulah akan melirik tataran makna dalam berdemokrasi bukan terjebak pada perkara khilafiyah yang tak berujung.

Gelanggang Pilpres

Virgo Sulianto Gohard, ketua panitia penyelenggara Muktamar XVII Pemuda Muhammadiyah 2018 pernah mengungkapkan, ada intervensi kepolisian terkait agenda muktamar PM yang akan digelar di Jogja. Ia bahkan menyebut kepolisian terlalu sibuk ngurusi agenda muktamar yang akan digelar tanggal 24 November mendatang.  “Dalam sejarah Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah, upaya intervensi seperti ini pernah terjadi di zaman Orde Baru” (Tempo.co, 17 Oktober 2018).

Tentulah pernyataan itu tidak dilisankan sembarangan, karena Virgo tahu dan sadar siapa yang dituding. Membuat dugaan terhadap institusi Polri sama saja dengan memasang ranjau di bawah tangga rumah sendiri. Kita tentu ingat dimana ranjau itu dipasang dan untuk siapa ranjau itu Namun bukan tidak mungkin, ketika ‘gempa’ mengoyang ranjau dipasang untuk diri sendiri. Sebuah pernyataan berani yang naif, namun patut diberi jempol ketika itu dasarnya adalah kebenaran dan terkonfirmasi.

Penulis meyakini peristiwa itu benar terjadi, karena eksistensi PM yang melejit di layar politik hari-hari ini. Faktor dinamika politik yang condong memberi ruang terlalu luas terhadap isu keagamaan (Islam), juga menjadi indikator utama. PM dalam konteks ideal terlihat bermain pada dimensi milenial religius, yang berposisi pada poros tengah umat islam. Statement politik yang dihadirkan bernuansa kesejukan, ditambah label Muhammadiyah yang konstruktif dalam menyikapi fenomena umat.

PM bagaikan selir muda yang ditinggal mati Sang Raja. Disitu para punggawa politik akan bertarung nyawa, demi bersanding dengan Sang Selir. Reposisi politik yang dihadirkan PM dibawah kepemimpinan Danhil, mampu menjadi diskursus baru dalam perpolitikan Muhammadiyah.

Para petualang suara pemilu tentu tidak akan berani menyentuh sang maha guru PM, Muhammadiyah karena sang guru terlalu suci untuk dinodai. Namun, PM terlanjur membuka ‘aurat’ karena sang ketua umum yang berteriak adil makmur. Wajar saja walaupun aurat yang dibuka belum menyalahi ‘syariat’, namun itu mampu menggoda lirikan mata para petualang politik yang binal.

Praksis kondisi ini akan menjadi santapan manis bagi kubu Jokowi-Amin dan sudah pasti bagi kubu Prabowo-Sandiaga. Kubu Jokowi-Amin dipastikan akan bermain pada dinamika muktamar PM yang terus berkembang. Penulis menyakini tidak ada perkumpulan yang benar-benar solid walaupun mereka diikat dalam satu ideologi ketuhanan sekalipun. Disinilah peran kubu Jokowi-Amin yang berpotensi mengambil sebagian atau seluruhnya dari forum permusyawaratan tertinggi itu, salah satu indikatornya merujuk pada aksi intervensi jelang Muktamar PM.

Sebaliknya hampir dipastikan publik terlanjur menyimpulkan PM adalah bagian dari Timses Prabowo-Sandiaga karena salah satu simbolnya telah ‘dikuasai’, walaupun itu tidak bisa disimpulkan serta merta. Pengaruh Danhil sebagai ketua umum secara politik dipastikan berpihak pada pasangan Prabowo-Sandiaga karena beliau bagian dari itu.

Jabatan ketua umum dalam struktur organisasi sangat vital, ketua umum bisa saja membatalkan muktamar walaupun praktek itu tidak regulatif. Panitia beroperasi atas dasar SK yang ditandatangani Danhil Simanjuntak dan sekretaris umum walaupun kepanitiaan dibentuk dalam forum pleno musyawarah mufakat. Artinya aroma politik Prabowo-Sandiaga di muktamar PM tidak bisa dikesampingkan karena mereka persis berada di poros PM.

Penulis belum menemukan referensi yang akurat tentang bakal calon ketua umum PM di muktamar XVII. Namun, dari informasi yang dibocorkan ketua penyelenggara ada 6 bakal calon ketua umum yang akan bertarung di arena itu. Di sini dapat dipastikan, muktamar tidak akan baik-baik saja. Dinamikanya akan menarik untuk diikuti. Finalisasi pengaruh kepentingan politik para Capres akan diukur pada latar belakang dan tujuan dari para kandidat yang akan bertarung.

Tidak bermaksud menghakimi,  namun penulis menyakini diantara 6 orang kandidat yang digadang-gadang akan maju, memiliki ketergantungan politik dengan kubu Capres tertentu, mudah-mudahan itu delusi.

Kembali ke Yogya

Muktamar PM XVII akan digelar di kota kelahiran Muhammadiyah,  Yogyakarta.  “Kembali ke Jogja” penulis memaknai itu sebagai bentuk kerinduan PM kepada KH Ahmad Dahlan. Sang Pendiri Muhammadiyah yang membangun persyarikatan, dengan tujuan dakwah Islam yang rahmatan lil alamin. Kiyai Dahlan adalah sang pencerah, yang ingin menjadikan gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan. Bukan hanya dalam tataran dakwah islam namun lebih luas dari itu untuk kemaslahatan umat. Kiyai Dahlan beridentitas dalam gerakan politik tidak abu-abu.

Sebelum mendirikan Muhammadiyah Kiyai Dahlan tegas menyatakan keluar dari organisasi politik Boedi Utomo, karena beraroma freemason yang melarang kegiatan kegamaan (Islam)  ”Jika agama berada di luar Boedi Oetomo, maka sebaliknya politik berada di luar Muhammadiyah”. Demikian khittah perjuangan Muhammadiyah pada awal-awal berdirinya.

PM menyandang nama besar Muhammadiyah yang lahir dari lubuk hati Kiyai Ahamd Dahlan. Beliau tidak antipati dalam politik,  bahkan pelaku politik. Kiyai Dahlan pernah bergabung dengan organisasi Boedi Utomo yang sering dijuluki sebagai organisasi politik pertama di Indonesia. Muktamar PM harus merefrensi ketegasan seperti yang dipesankan dalam catatan sejarah Kiyah Dahlan. Musyawarah tertinggi itu harus melahirkan sikap politik yang tegas dalam memperjuangan dakwah Islam, akhlak dan umat. Pragmatisme dalam politik harus dilandasi pada kepentingan umat dan persyarikatan. Pemberi toleransi bagi siapa saja yang ingin intervensi kedaulatan PM yang bertentangan dengan garis perjuangannya, adalah sebuah penghianatan.

Penulis ingin menyimpul pada ketakutan dan sekaligus kegembiraan pada campur tangan agenda Pilpres di Muktamar XVII. Kepentingan politik pasti tersemat dalam perkara apapun di muka bumi ini. Jadi, tidak ada yang perlu ditakutkan. Politik sebagai bidang ilmu harus dimaknai sebagai kekayaaan khazanah ilmu pengetahuan. Selanjutnya, politik dalam arti praktis, harus dilakoni dengan keteguhan akhlak dan kekuatan iman.

Berlawanan dengan itu, kegembiraan atas campur tangan agenda Pilpres juga akan berdampak buruk pada kedaulatan muktamar. Waspada pada golongan yang bergembira di muktamar, demi kekuasaan Sebaliknya, dukung golongan yang ingin mengembirkan dakwah Islam di arena muktamar. Selamat Muktamar PM Ke – XVII, fastabiqul khairat.

*Penulis adalah mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dari Bengkulu, saat ini aktif sebagai Jurnalis.

Related

KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Kupas News, Jakarta - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab...

Modus Mafia Tanah di Ruang Peradilan

Oleh : Elfahmi Lubis Mafia Tanah sudah menggurita dan telah...

Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan

Dimana posisi kaum "rebahan" atau kaum "mager" yang didominasi...

Polemik RUU Sisdiknas, Maksimalkah Uji Publik?

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd Mencermati draft Rancangan Undang-Undang Sistem...

Kiprah Parsadaan Harahap Hingga Duduki KPU RI

Sosok Persadaan Harahap atau yang sering disapa bang parsa,...