Minggu, Juni 29, 2025

Gubernur Helmi Apresiasi Kinerja Tim Pendamping Haji Bengkulu 2025

Bengkulu InteraktifPT. Interaktif Media Siber. All Rights Reserved.Bengkulu Interaktif 2016 - Bengkulu Interaktif.Contact InformationHead Office:Jalan Batanghari No. 15, Komp. PU Pracetak, Tanah Patah,...
BerandaHEADLINEMelukis Kegundahan Perempuan dalam Jurnalisme Komik

Melukis Kegundahan Perempuan dalam Jurnalisme Komik

poster komik

Kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi di lingkungan kita baik disadari atau tidak. Berbagai pendekatan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan disuarakan oleh banyak kalangan, baik media massa, LSM, perguruan tinggi dan lainnya.

Membaca berita, menonton TV, mendengar radio tentu pola umum dilakukan, bagi individu yang suka mendengar tentu radio pilihannya, begitu seterusnya. Kampanye perlawanan terhadap kekerasan perempuan terkadang disampaikan monoton dan tak efektif mengena, lalu bagaimana kalau laporan jurnalistik tersebut diramu dengan komik?

Komik, bacaan bergambar. Ini bukan hal baru sebelumnya namun untuk Bengkulu boleh dikatakan jurnalisme komik masih belum mendapatkan ruang tersendiri, padahal penyampaian kampanye melalui metode ini akan lebih ‘renyah’ diterima dan dipahami publik.

Jurnalisme komik mulai mendapat tempat di hati saat Joe Sacco kartunis dan jurnalis Amerika Serikat membuat komik berjudul Palestine tentang perlawanan Intifadah yang menggugah itu, atas karyanya yang menggerakkan dunia itulah ia mendapatkan penghargaan American Book Award di tahun 1996. Posisinya sejajar dengan kartunis bawah tanah yang mendunia sebelumnya yakni, Robert Crumb dan komikus peraih Pulitzer Art Spiegelman.

Hal inilah yang dilakukan oleh Yayasan Spora, Konteks, Women Crisis Centre (WCC) Cahaya Perempuan Bengkulu dan Telkom, menggelar lomba membuat komik poster dengan tema “Future Life Zero Violence” yang dispesifikkan melawan kekerasan pada perempuan sekaligus refleksi 15 tahun Cahaya Perempuan Bengkulu.

“Ini sebagai bentuk kampanye jurnalisme komik yang coba kita kembangkan di Bengkulu, kita yakin ada banyak para komikus dan kartunis di Bengkulu yang terpendam dan akan kita gali agar mereka berkarya, pada lomba ini temanya khusus tentang kekerasan terhadap perempuan,” kata Dedy Singgih Ketua Panitia Pelaksana dari Media Konteks, media komik pertama di Bengkulu, Minggu (14/12/2014).

Sementara itu Direktur WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, Tety Sumeri, mengapresiasi kegiatan tersebut karena menurutnya kekerasan terhadap perempuan di Bengkulu cukup mengkhawatirkan dibutuhkan kampanye massif, pendidikan, penyadaran dan advokasi pada semua pihak.

Ia menjelaskan data kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak sejak 2011 hingga 2013 tercatat 238 kasus, jumlah tertinggi kekerasan seksual dalam pacaran, inses (hubungan sedarah), perkosaan dan trafiking tujuan seksual.

“Jumlah tersebut yang melaporkan ke WCC Cahaya Perempuan saja, artinya data ini yang diketahui, belum dari instansi penegak hukum lain, bisa jadi lebih banyak, ini fenomena gunung es yang tampak saja sesungguhnya yang terjadi lebih banyak,” kata Direktur WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, Tety Sumeri di Bengkulu, dalam lomba jurnalisme komik, digelar beberapa LSM seperti Spora, Konteks, Telkom dan WCC Cahaya POerempuan sendiri, Minggu (14/12/2014).

Selanjutnya, 238 kasus sepanjang 2011 hingga 2013 itu diranking pertama yakni kekerasan seksual dalam pacaran mencapai 42 persen kasus, lalu inses 31 persen, perkosaan 20 persen, dan terakhir trafiking tujuan seksual sebesar tujuh persen.

“Bengkulu masuk dalam zona merah atau banyak ditemukan khusus untuk kasus inses,” tambah dia.

Tingginya kasus kekerasan seksual perempuan dalam hubungan pacaran banyak dialami perempuan usia 15 hingga 19 tahun atau SMP dan SMA, dalam lima tahun terakhir kasus ini terus bertambah.

“Kebanyakan perempuan mengalami ancaman dalam relasi pacaran sehingga kasus kekerasan dalam pacaran jarang terungkap,” bebernya.

Sementara itu untuk inses faktor penyebabnya banyak faktor diantaranya kemiskinan, pendidikan, lingkungan dan psikologis.

“Kebanyakan untuk inses terjadi di kalangan menengah ke bawah, masyarakat yang kurang informasi, lingkungan yang tidak sadar dan mendukung misalnya sang ayah melakukan hubungan intim dengan anak kandungnya selama berpuluh tahun,” katanya.

Pendidikan seks menurutnya harus dilakukan oleh para orang tua, penjaga moral seperti ulama, pemuka agama, guru.

“Pendidikan seks penting diajarkan pada anak, misalnya mereka memiliki hak otonomi atas tubuh mereka terutama organ vital yang tak boleh dipegang oleh siapa pun termasuk orang tuanya,” ujarnya menyontohkan.

Selanjutnya, hukum juga kadang tak adil melihat korban kekerasan seksual. Ia mengisahkan dalam dampingan WCC Cahaya perempuan terdapat kasus ayah kandung menggauli anaknya selama 10 tahun hingga hamil, namun persidangan terkadang menyebut korban juga ikut menikmati.

“Pengadilan kadang tak adil melihat korban, karena 10 tahun tak pernah melapor, korban malah dituding ikut menikmati, inikan pandangan keliru, dia tak berani melapor karena selalu diancam dan diawasi setiap gerak-geriknya, bukan karena menikmati,” pungkas Tety.

Sementara itu apresiasi serupa terhadap lomab tersebut dari Telkom akan membuat spincard di produk telkom berlatarbelakang pemenang lomba tersebut.(***)