
Bengkulu, kupasbengkulu.com – Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan, Bengkulu kekuatan budaya patriarki masih terjadi di Bengkulu yang mengakibatkan munculnya ketidakadilan gender. Hal ini terlihat dari masih banyaknya para istri menjadi korban pemerkosaan dalam perkawinan di daerah ini.
“Berdasarkan hasil penelitian yang kita lakukan, terkuak jika selama ini praktek pemerkosaan dengan legalitas perkawinan masih terus berlanjut,” kata Direktur WCC Cahaya Perempuan Bengkulu Tety Sumeri, Jumat (17/4/ 2015)
Hal ini pulalah yang menurut Tety menjadi pendorong tingginya tingkat kehamilan tidak diinginkan, kekerasan dalam rumah tangga dan aborsi di Bengkulu.
Pada penelitian ini, cahaya perempuan juga menemukan jika selama ini terutama perempuan komunitas akar rumput yang menjadi objek penelitian belum memahami hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.
“Mereka juga tidak menyadari jika selama ini menjadi korban pemerkosaan suaminya sendiri,” lanjutnya.
Pada penelitian itu para perempuan-perempuan ini menuturkan jika selama ini mereka tidak memiliki kuasa terhadap hak reproduksi yang mereka miliki.
Perempuan-perempuan mengalami pemaksaan untuk hamil, dengan alasan suami ingin anak perempuan atau anak laki-laki. Padahal mereka telah memiliki anak lebih dari satu. Belum lagi kondisi ekonomi tidak memungkinkan untuk punya anak lagi.
Ia mengatakan pemerkosaan dalam perkawinan tak saja terjadi pada perempuan kelas menengah ke bawah, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada perempuan kelas atas.
Karena menurutnya ketidakadilan gender, tidak melihat status sosial dan latar belakang pendidikan seseorang, karena belenggu patriaki yang berselimut norma sosial, agama, adat dan budaya membuat para perempuan dari semua kelas menjadi tidak berdaya.
“Hanya saja, perempuan dari kelas atas, lebih gampang menutupi ketidak adilan gender yang mereka alami, ketimbang perempuan dari kelas bawah,” kataya kemudian.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Cahaya Perempuan mendampingi komunitas perempuan akar rumput. Memberikan pemahaman terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi, peningkatan kapasitas perempuan untuk mengikis ketidakadilan gender yang selama ini masih mereka alami.
Harapannya kedepan tidak ada lagi perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga baik secara fisik maupun seksual akibat kurangnya pengetahuan mereka terhadap hak-hak nya terutama hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Salah seorang ketua komunitas perempuan Pondok Besi dampingan Cahaya Perempuan, Melly mengakui jika persoalan kekerasaan seksual sangat dekat dengan kehidupan perempuan. Hampir semua dari mereka mengakui pernah mengalami kekerasan baik fisik maupun psikologis, hanya tidak sadar jika selama ini tindakan yang mereka alami merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan.(kps)