kupasbengkulu.com – Era tahun 2000-an, dunia sastra Indonesia dihebohkan dengan kemunculan novel-novel bertema seks. Pada awalnya, penulis mengira bahwa novel-novel tersebut adalah karya kaum adam. Bukan tuduhan tak berdasar, tetapi seperti yang dijelaskan Louann Brizendine lewat eharmony.com, kaum Pria memiliki area Sexual Pursuit dibagian hypothamalus otaknya yang dua kali lipat lebih besar dari perempuan.
Tetapi, untuk dunia sastra, khususnya di Indonesia, ternyata tidak begitu tepat. Karena, novel-novel yang bertema seksual bahkan cinderung “panas” di dominasi oleh penulis-penulis wanita.
Sebut saja, Ayu Utami lewat novel karyanya ; Saman dan Larung, kemudian ada Dinar Rahayu dengan novelnya, Leopold Von Sacher Massoc, Herlianitien membuat novel berjudul Garis Tepi Seorang Lesbian, Naning Pranoto yang menciptakan novel Wajah Sebuah Vagina.
Belum ditambah lagi dengan novel berjudul Tujuh Musim Setahun karya Clara Ng. Kita tidak juga bisa mengesampingkan nama seperti Zara Zettira dengan berbagai novelnya yang bertema seks. Seorang sastrawan perempuan, Katrin Bandel pernah membahas “rekan-rekan” sesama profesinya lewat buku “Sastra, Perempuan, Seks” pada tahun 2006.
Karya-karya yang disebut diatas bahkan menuai banyak kritikan, karena mengeksplorasi tema seks dengan narasi yang begitu vulgar. Meskipun demikian, juga ada banyak pujian berdatangan karena karya-karya tersebut dianggap sebagai “pembuka layar estetika sastra yang baru”.
Fakta ini menjelaskan bahwa telah terjadi pergeseran cara pandang tokoh perempuan terhadap eksistensi laki-laki.
Namun, Nandang R Pamungkas yang sempat meneliti tentang novel-novel perempuan bertema seks ini punya pandangan lain.
Ia menyebutkan bahwa, seks di novel-novel karya penulis perempuan punya arti lebih. Seks didalam novel-novel tersebut adalah hal yang perlu disuarakan perempuan.
“Perempuan, selain dianggap mahkluk lemah dan pandangan yang tidak adil dari masyarakat sehingga hanya mampu melakukan semacam pemberontakan lewat ilusinya,” demikian papar Nandang.
Pemikiran itu sejalan dengan tema yang dibahas oleh Achmad Munif dalam novelnya Perempuan Jogja.
Dalam karya itu, Achmad bercerita tentang ketidakadilan gender yang direpresentasikan dalam bentuk-bentuk marginalisasi, subordinasi dan kekerasan pada perempuan.(vai)