
Oleh: Satria Budhi Pramana*
Belakangan ini urusan yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara semakin kompleks, dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh penyelenggara negara baik dari aspek sumberdaya manusia maupun sumber pembiayaan, sering kali penyelenggara negara lalai dalam memenuhi seluruh kewajiban baik yang dimuat dalam Konstitusi (UUD 1945), peraturan PerUUan tertulis lainnya, maupun norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Kelalaian yang dilakukan oleh negara beserta penyelanggara lainnya dapat saja berupa abuse of power (penyelahgunaan kekuasaan) baik yang bersifat aktif (act by commission) maupun yang bersifat pasif (act by ommission) atau pembiaran terhadap timbulnya kerugian materil maupun formil yang diderita oleh warga negara secara berkelanjutan.
Di satu sisi, adanya pengakuan dan jaminan atas hak asasi warga negara yang semakin kuat mulai dari amandemen UUD 1945 Pasal 28, 28I sd 28J, dibuatnya UU nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Ratifikasinya berbagai Covenant Internasional bidang HAM baik Covenant on Civil and Political Rights melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 serta Covenant on Economical, Social and Cultaral Rights 1966 melalui UU Nomor 11 Tahun 2005, maka kedudukan hukum warga negara semakin kuat ketika berhadapan langsung dengan penyelenggara negara.
Dengan demikian, ketika warga negara merasa hak-haknya dirugikan oleh penyelanggara negara, maka advokasi yang dilakukan oleh warga negara melalui jalur litigasi semakin beragam. Bentuk terobosan hukum yang ada salah satunya adalah citizen law suit.
Hal ini patut diapresiasi oleh kalangan umum, sehingga meskipun belum diatur secara jelas dalam peraturan tertulis, setidaknya ada beberapa aturan hukum tertulis yang mengamanatkan kepada Pengadilan untuk mengambil langkah-langkah yang progresif dalam menghadapi gugatan jenis ini serta prinsip-prinsip hukum yang mengisyaratkan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya melainkan harus memeriksa dan mengadilinya.
Seperti yang diamanatkan di dalam pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas mengaturnya, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Ketiadaan peraturan ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk menciptakan hukum yaitu dengan melakukan judicial activism, baik dengan melakukan penafsiran hukum atau mencari dasar-dasar serta asas-asasnya guna menegakkan keadilan.
Beberapa pengertian gugatan citizen law suit atau gugatan actio Popularis diantaranya:
Actio popularis adalah prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepentingan umum secara perwakilan. Gugatan dapat ditempuh dengan acuan bahwa setiap warga negara tanpa kecuali mempunyai hak membela kepentingan umum.
Citizen law suit adalah akses orang per orangan warga Negara untuk kepentingan publik termasuk kepentingan lingkungan mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut agar pemerintah melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan kerugian public yang terjadi, Pada dasarnya Citizen law suit merupakan suatu hak gugat warga Negara yang dimaksudkan untuk melindungi warga Negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran komisi dari Negara atau otoritas Negara.
Menurut Gokkel actio popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga negara, tanpa pandang bulu, dengan pengaturan oleh negara.
Menurut pendapat Michael D Axline Bahwa Citizen Law suit memberikan kekuatan kepada warga Negara untuk menggugat pihak tertentu (Privat) yang melanggar Undang-undang selain kekuatan kepada warga Negara untuk menggugat Negara dan lembaga – lembaga (federal) yang melakukan pelanggaran Undang-undang atau yang gagal dalam memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan Undang-undang.
Dengan demikian setiap anggota warga negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat Negara atau pemerintah atau siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum, yang secara nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat luas.
Pada intinya citizen law suit adalah mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat tanggung jawab Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga CLS diajukan pada lingkup peradilan umum dalam hal ini perkara Perdata.
Oleh karena itu Atas kelalaiannya, dalam petitum gugatan, Negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat mengatur umum (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Berikut adalah beberapa karateristik Citizen Law Suit berdasarkan beberapa perkara CLS yang pernah diajukan di Indonesia :
Tergugat dalam CLS adalah Penyelenggara Negara, Mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai pimpinan teratas, Menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang dianggap telah melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya.
Dalam hal ini pihak selain penyelenggara negara tidak boleh dimasukkan sebagai pihak baik sebagai Tergugat maupun turut tergugat, karena inilah bedanya antara CLS dengan gugatan warga negara. Jika ada pihak lain (individu atau badan hukum) yang ditarik sebagai Tergugat/Turut Tergugat maka Gugatan tersebut menjadi bukan Citizen Law suit lagi, karena ada unsur warga negara melawan warga negara. Gugatan tersebut menjadi gugatan biasa yang tidak bisa diperiksa dengan mekanisme Citizen Lawsuit.
Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan dalam gugatan adalah kelalaian Penyelenggara Negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara. Dalam hal ini harus diuraikan bentuk kelalaian apa yang telah dilakukan oleh negara dan hak warga negara apa yang gagal dipenuhi oleh Negara. Penggugat harus membuktikan bahwa Negara telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum tersebut, sebagaimana gugatan perdata biasa.
Penggugat adalah Warga Negara, yang bertindak mengatasnamakan warga negara. Penggugat dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah warga negara Indonesia. Berbeda dengan class action, Penggugat tidak harus merupakan kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung oleh negara, oleh karena itu Penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiel apa yang telah dideritanya sebagai dasar gugatan, berbeda dengan gugatan perdata biasa.
Selain itu Penggugat secara keseluruhan adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu dipisah-pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagaimana dalam Gugatan Class Action.
Gugatan Citizen Lawsuit tidak memerlukan adanya suatu notifikasi Option Out setelah gugatan didaftarkan sebagaimana diatur dalam PERMA tentang Class Action. Dalam prakteknya di Indonesia yg didasarkan pada pengaturan di beberapa negara common law, Citizen Lawsuit cukup hanya dengan memberikan notifikasi berupa somasi kepada penyelenggara Negara.
Isi somasi adalah bahwa akan diajukan suatu Gugatan Citizen Lawsuit terhadap penyelenggara Negara atas kelalaian negara dalam pemenuhan hak-hak Warga Negaranya dan memberikan kesempatan bagi negara untuk melakukan pemenuhan jika tidak ingin gugatan diajukan. Pada prakteknya somasi ini harus diajukan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum gugatan didaftarkan, namun karena belum ada satupun peraturan formal yang mengatur hal tersebut, maka ketentuan ini tidak berlaku mengikat.
Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti rugi materiel, karena kelompok warga negara yang menggugat bukan kelompok yang dirugikan secara materiel dan memiliki kesamaan kerugian dan kesamaan fakta hukum sebagaimana gugatan Class Action.
Petitum gugatan Citizen Lawsuit harus berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (Regeling) agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak warga negara tersebut di masa yang akan datang tidak terjadi lagi.
Petitum Gugatan Citizen Lawsuit tidak boleh berisi pembatalan atas suatu Keputusan Penyelenggara Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat konkrit individual dan final karena hal tersebut merupakan kewenangan dari peradilan TUN.
Petitum Gugatan Citizen Lawsuit juga tidak boleh memohon pembatalan atas suatu Undang-undang (UU) karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu Citizen Lawsuit juga tidak boleh meminta pembatalan atas Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang (UU) karena hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana kini telah diatur dalam PERMA tentang Judicial Review peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Dalam hal ini permasalahan yang ada di Kabupaten Lebong dan Rejang lebong. Permasalahan tersebut ialah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara melalui skema TNKS. Akibat dari ditelurkannya aturan mengenai Taman Nasional dalam hal ini adalah Taman Nasional Kerinci Seblat telah terjadi proses dekosntruksi tatanan sosial yang sudah ada dan berlaku di masyarakat adat sekitar Taman nasional di Kabupaten Rejang lebong dan Lebong. Ruang hidup masyarakat terkait pengelolaan hutan disana menjadi hilang. Masyarakat tidak memiliki ruang kelola dan kebebesan untuk mengelola hutan berdasarkan aturan yang sudah ada dan turun menurun di masyarakat itu.
Untuk itu salah satu cara penyelesaian konflik ini adalah dengan menggunakan metode gugatan Citizen Law Suit (CLS). Negara dalam hal ini telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengeluarkan peraturan tentang TNKS hal itu kemudian menjadi dasar gugatan masyarakat terhadap negara.
Hal ini juga diperkuat jaminan atas hak asasi warga negara yang semakin kuat mulai dari amandemen UUD 1945 Pasal 28, 28I sd 28J, dibuatnya UU nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Ratifikasinya berbagai Covenant Internasional bidang Ham baik Covenant on Civil and Political Rights melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 serta Covenant on Economical, Social and Cultaral Rights 1966 melalui UU Nomor 11 Tahun 2005.
Harapannya dengan pelaksanaan metode gugatan ini persoalan persoalan tersebut bisa selesai. Walaupun dalam prakteknya cls masih sulit karena keterbatasan pemahaman hakim terhadap konsep gugatan cls dan belum di akomodirnya gugatan citizen law suit dalam hukum acara di Indonesia.
*Penulis adalah pegiat hukum, Warga Bengkulu