By: Benny Benardie
Seorang gubernur tidak mengeleng-gelengkan kepalanya saat melihat kondisi di negeri yang dipimpinnya masih ada gubuk reot tak layak huni. Padahal negerinya yang dipimpinnya epidemi malaria.
Bayangkan kita seperti itu dan tidak mendapat geleng-geleng gubernur. Relatif bisa diterima kalau penghuni gubuk reot berfikir Sang Gubernur jauh di gedung tinggi, berpintu pagar besi.
Ternyata Sang Gubernur dibalik tembok menangis saat melihat korupsi dilingkungannya, secara masif dan terstruktur terjadi. Angguk dan gelengpun diberikan gubernur.
Otonomi daerah menjadi sasaran. Walikotapun dapat kena imbas, karena tidak melihat derita warganya. Padahal Dinas Sosial kota ada dengan anggarannya. Walikota menjadi sasaran tembak 12 pas.
Tentunya walikota juga tidak bisa dipersalahkan, karena saat gubuk reot dengan tujuh penghuninya terkuak dan berteriak, dirinya sedang pergi jauh dan lama diluar negeri.
Meminjam pepatah Melayu Bengkulu Lama, Orang Gilo Pacak Dapek di Ubek, Idak Tau Malu abis akal”. Kira-kira artinya, kalau penyakit itu dapat dan ada obatnya, namun kalau malu itu sudah tidak ada lagi, entah bagaimana kita harus memikirkan cara mengobatinya, menyadarkannya.
Pusing, mungkin itulah jawaban yang diberikan. DPR setempat kawan, pers lagi pusing memikirkan value nominal pengeluaran perusahaan. Politisi jalanan sedang demam, karena akibatkan hujan banjir mengenang negerinya.
Lantas, siapakah yang harus di dera? Mungkin karena terganggunya kinerja, akibat tindakan aparat penegak hukum yang mengejar kejahatan dan pelanggaran hukum. Kalau tidak karena apa?
Penulis dan Jurnalis