Bengkulu, kupasbengkulu.com – Plt. Sekda Pemprov Bengkulu, Sumardi, menyebutkan pihaknya akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Resolusi konflik agraria dan sumberdaya alam di daerah itu.
“Kita akui memang banyak terjadi konflik agraria dan sumberdaya alam di Bengkulu, oleh karenanya Pemprov akan membentuk Satgas tersebut setelah banyak mendapatkan masukan dari masyarakat termasuk LSM,” kata Sumardi usai menghadiri “Bedah Buku Negosiasi Efektif untuk Konflik Sumberdaya Alam”, Senin (13/4/2015).
Sementara itu dalam bedah buku tersebut, penulis buku Andiko dan Harry Oktavian menuliskan beberapa pengalaman keduanya dalam mendampingi beberapa kasus konflik agraria dan sumberdaya alam.
Direktur Yayasan Akar Bengkulu, Erwin Basyrin menyebutkan terdapat 116 desa definitif terdapat di dalam areal hutan lindung di daerah itu yang berpotensi konflik.
“Desa tersebut secara UU tentu melanggar berada di wilayah hutan lindung namun apakah mereka harus diusir? Karena jika dilihat secara konstitusi wilayah adat mereka juga diakui negara,” kata Erwin.
Menurut Erwin, di Bengkulu hampir separuh kawasannya adalah hutan termasuk kawasan lindung. Jauh sebelum negara ada telah muncul ratusan komunitas adat yang menetap dan bermukim secara temurun.
Selanjutnya, negara mengkapling-kapling kawasan hutan tersebut menjadi hutan lindung, taman nasional dan sebagainya. Kondisi ini menyebabkan ratusan komunitas masyarakat adat tersebut menjadi seolah melanggar aturan.
Tak sedikit masyarakat harus menerima hukuman penjara karena dianggap melanggar UU. Ia mencontohkan beberapa kabupaten di Bengkulu di Lebong misalnya, warga desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) tak jarang mereka harus berhadapan dengan aparat kepolisian karena wilayahnya berbatasan langsung dengan TNKS.
Hal yang sama juga terjadi dalam konflik pengelolaan tambang dan perkebunan.(kps)