lebong, kupasbengkulu.com – Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 pasal 30 yang mengatur tentang pajak restoran termasuk di dalamnya rumah makan tampaknya tidak dapat diterapkan di Kabupaten Lebong walaupun juga diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) nomor 8 tahun 2013 perubahan dari Perda nomor 5 tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
Pasalnya, dalam UU tersebut mengatur jika pajak yang dikenakan oleh restoran sebesar 10 persen dari setiap transaksi, namun di Lebong, transaksi di setiap rumah makan tidak dapat dihitung karena tidak menggunakan bill atau nota pembelian.
“Sesuai dengan UU dan Perda, seharusnya pajak yang dikenakan pada rumah makan itu sebesar 10 persen per transaksi. Kondisinya di Lebong, rumah makan pada umumnya tidak menggunakan nota pembelian kepada konsumen jadi sulit untuk menentukan jumlah transaksi per hari,” ungkap Kabid Pendapatan dan Bagi Hasil DPPKAD Lebong, Syarifuddin.
Mengatasi masalah ini, Syarif berinisiatif memanggil para pengusaha rumah makan untuk membuat kesepakatan agar dapat menarik pajak rumah makan tersebut. Dari hasil pertemuan tersebut, didapatilah kesepakatan bahwa setiap rumah makan dikenakan pajak 10 persen dari penghasilan setiap bulan.
“Dari kesepakatan para pengusaha rumah makan, maka ditarik pajak sebesar 10 persen dari penghasilan mereka setiap bulan. Nilainya bervariasi, mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 250.000 tiap bulannya,” tambahnya.
Walaupun demikian, Syarif menyayangkan masih banyaknya rumah makan yang masih menunggak dan tidak jujur dalam melaporkan jumlah pendapatannya. Alhasil, target pajak rumah makan pun menjadi berkurang.
“Meski sudah ada kesepakatan, masih ada juga yang menunggak, dan masih ada juga beberapa rumah makan yang tidak jujur dalam melaporkan penghasilannya,” demikian Syarif.(spi)